Cerita para petani me warnai Nusantara. Kelin dan antara semangat mempertahankan kekayaan asli Indonesia, pergulatan hidup di antara impitan persoalan ekonomi, rasa bungah ketika panen, dan upaya inovasi yang meningkatkan nilai jual menuturkan kisahnya sendirisendiri di berbagai penjuru.
Di tengahtengah pergelutan para petani itu, Javara masuk dan menjadi mitra yang membawa pembaruan melalui inovasi produk dan pengembangan pasar. Javara mengusung dua misi besar, mengembalikan kebanggaan profesi petani dan melestarikan berbagai tanaman pangan lokal (indigenous) yang terancam kepunahan. Misi itu diyakini akan tercapai melalui pendekatan bisnis sosialnya yang menjunjung tinggi prinsip ethical dan equitable trade (perdagangan yang beretiket dan menghormati kesetaraan).
Kedua istilah tersebut bisa ter jelaskan dalam cerita sederhana ini. Nun di pesisir Kusamba, Bali, garam diproduksi dengan cara yang begitu lokal dan tradisional. Garam ini tidak dikeringkan di atas kolam beralas tanah pasir, tetapi di atas balok kayu kelapa sehingga hasilnya higienis. Javara melihat potensi unggul tersebut. Helianti pun bertemu dengan ketua kelompok tani garam, Bli Ketut Kaping, untuk berdiskusi dari hati ke hati. Helianti menunjukkan contoh inovasi produk yang memberi nilai tambah berkali lipat di pasaran.
Bli Ketut pun terkagetkaget. Selama ini, garamnya dijual dengan harga hanya beberapa ribu rupiah untuk ukuran 150 gram. Ia tidak menyangka produk garam premium di New York bisa laku hampir Rp 100 ribu untuk ukuran yang sama. Tim Javara pun membuat inovasi pengemasan garam. Kemasan itu dibuat dari batu yang diambil dari perajin batu lereng Merapi.
“Ide mengemas garam dengan batu ini sebenarnya muncul secara tidak sengaja,” cerita Helianti. Seorang perajin batu di Muntilan meneleponnya, mengeluh karena pasar ukiran batu sedang jelek akibat krisis ekonomi di Eropa dan Amerika. Belum lagi, setelah letusan besar Gunung Merapi pada tahun 2010 di sekitar mereka penuh bongkahan batu yang terbawa erupsi. Ketika ditelepon, Helianti sedang makan bersama seorang kawan, Chef Kamil, asal Perancis.
“Kawan saya itu lantas memberi ide untuk memanfaatkan bongkahan batu tersebut menjadi bahan jar kemasan garam dengan bentuk menyerupai stupa Borobudur,” lanjutnya. Kemasan jar garam tersebut sangat disukai di luar negeri, bahkan telah memenangi penghargaan Slow Pack pada ajang Salone del Gusto 2014 di Italia untuk kategori kemasan tradisional terbaik.
Misi pemberdayaan ditegakkan konsisten dalam seluruh proses bisnis, mulai transparansi pasar yang akan dituju, penentuan harga bersama, sampai pembagian keuntungan. Sistem tersebut menjadikan petani tidak hanya bertani tanpa tahu ke mana hasil tani mereka dibawa, diolah menjadi apa, dan berapa nilainya, tetapi juga dipacu menjadi entrepreneur.
Bli Ketut yang memiliki tiga anak awalnya boleh dikatakan hidup tidak layak, kerap dalam sehari hanya makan satu kali. Namun, kemudian usaha garam Kusamba yang awalnya pahit menjadi manis dan bisa dijadikan sandaran hidup yang layak. Kebanggaan sebagai petani garam terbit dalam dirinya. Ia diajak ke Italia untuk menceritakan proses pembuatan garam Kusamba yang penuh kearifan lokal di panggung Festival Salone del Gusto 2012. Hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Menghargai kearifan lokal
Namun, selepas mendunia, apakah Javara terjebak pada upaya industrialisasi komoditas? Jawabannya tidak. Mereka tetap menjalankan usaha dengan menghargai kearifan lokal. Ada contoh kasus garam yang lain. Pemutran, Bali Utara memproduksi garam piramida. Kristalisasi secara alamiahlah yang membuat bentuknya menyerupai piramida. Pada salah satu pameran dagang di luar negeri, Javara mendapatkan permintaan satu kontainer ke Yunani. Hal ini tak bisa dengan segera terpenuhi. Petani garam tidak bisa bekerja setiap hari karena pada hari hari tertentu mereka harus mengikuti upacara untuk beribadah. Mereka juga percaya, jika ingin hasil bumi melimpah dan menjadi berkah, mereka tidak boleh meninggalkan peribadatan.
Model bisnis seperti ini memenuhi prinsip ethical trade karena Javara telah berupaya memperbaiki kondisi petani dan orangorang yang terlibat dalam rantai dagang. Mimpinya, kelak para petani tidak hanya dihargai sekadarnya berdasarkan hasil pertaniannya, tetapi juga keahliannya dalam bertani dan mempertahankan kearifan lokal.
Dari hasil interaksinya di berbagai wilayah di Indonesia, Helianti mengaku lebih banyak belajar dari petani dibandingkan mengajari petani. Petani secara alami adalah sosok berbudi luhur. Mereka bekerja keras, sabar menunggu rezeki sampai panen, hanya makan dari apa yang mereka tanam atau jual. Mereka juga terbiasa berbagi dengan sesama dari hasil pertanian.
Masih banyak petani yang memiliki idealisme. Tengoklah Mbah Suko di Magelang yang melihat tidak mungkin ada benih padi buatan manusia yang lebih hebat dari buatan Tuhan. Benih asli setempat lebih tahan terhadap penyakit serta memiliki kandungan gizi lebih tinggi dan cita rasa yang lebih enak. Mbah Suko bersiasat dengan menanam padipadi itu di pot untuk sekadar menyelamatkannya dari kepunahan. Kini, bermitra dengan petanipetani di pelosok Jawa, Javara telah memasarkan hampir 40 jenis beras kuno yang hampir punah.
Javara sampai saat ini telah mengeluarkan lebih dari 600 produk, 200 di antaranya telah diserti kasi organik berstandar internasional. Sebesar sekitar 85 persen diekspor dan 15 persennya dijual di dalam negeri. Ini sesuatu yang sebenarnya tidak dengan sengaja didesain, tapi nyata bahwa kesadaran menjadi ethical consumer telah tumbuh lebih berkembang di negaranegara tujuan ekspor Javara di Amerika, Eropa, Australia, dan Jepang. Tidak hanya diekspor, produk Javara ini pun telah dipakai di hotelhotel bintang lima di Jakarta.
Sebagian besar produk Javara merupakan produk yang sarat misi (mission-based product), seperti koleksi beras dari varietas yang sudah turun temurun. Produkproduk ini dibuat tidak sekadar untuk cari untung, tetapi juga membantu petani agar tetap melestarikan varietasvarietas luhur asli Indonesia. Dengan demikian, sangatlah layak semboyan Javara, “Indigenous Indonesia”. Javara juga membuka peluang kemitraan dengan produk lain yang menjadikan Javara sebagai payung (co-branding) dengan bagi hasil sekitar 10 sampai dengan 30 persen, tergantung kategori produknya. Semakin luas pasarnya, bagi hasilnya semakin rendah bagi Javara.
Goris Mustaqim
Social Entrepreneur dan Konsultan Pengembangan Masyarakat
@GorisMustaqim
@kompasklass #budiluhur
2 thoughts on “Bisnis Sosial yang Etis”
Kalau mau bertemu langsung dgn komunitas semut nusantara kapan dan dimana
Hi Sobat, coba cek di contact kita, atau bisa buat schedule terlebih dahulu…