Bangsa kita adalah bangsa maritim. Ucapan itu sering kita dengar, apalagi baru-baru ini dengan populernya frase “Poros Maritim”. Betapa tidak, hampir seluruh jejak peradaban Nusantara tersebar di sepanjang aliran sungai di pelosok negeri ini. Begitu pula budaya penghormatan leluhur pada air.
Di Jawa Barat, misalnya, banyak nama tempat yang diawali dengan “ci”, yang berasal dari cai atau air. Narasi kejayaan Kerajaan Nusantara pun tak bisa dipisahkan dari sungainya. Yang paling tersohor tentulah Sriwijaya di sekitar Sungai Musi dan Sungai Batanghari serta Majapahit di Sungai Brantas sebagai lalu lintas utama antarkota antarpulau pada masanya. Merawat sungai adalah merawat ingatan kita akan peradaban leluhur. Sebagaimana bangsa besar lain di dunia pun merawat dan menata sungainya menjadi jantung dari kota-kota ternama mereka.
Sosok putra daerah Jatim, Amiruddin Muttaqin, mewarisi tugas peradaban tadi dengan mengajak masyarakat dan pemangku kepentingan dalam upaya konservasi Sungai Brantas. Ia merasa prihatin atas semakin buruknya kualitas Brantas yang disebabkan pencemaran paripurna dan perusakan lingkungan di sepanjang daerah tangkapan sungai. Pencemaran paripurna karena terjadi sejak hulu yang disebabkan limbah ternak sapi, lalu limbah domestik rumah tangga sepanjang alirannya, dan pencemaran oleh industri di hilir sampai ke Kali Surabaya. Hal itu diperparah penebangan pohon di hulu yang menyebabkan erosi, pendangkalan, dan penyempitan aliran sungai. Sejak tahun 2000 sampai 2010, terhitung puluhan mata air sumber Brantas pun musnah.
Jejak Amir diawali ketika kuliah di jurusan Teknik Lingkungan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang menuntunnya sering melakukan penelitian di Kali Surabaya. Geram karena degradasi kualitas sungai yang tak kunjung memancing tindakan tegas membuat jiwa aktivisnya menggelegak, Amir tak hanya berteriak, tetapi juga melakukan kerjakerja intelektual dengan membentuk forum studi lingkungan (fosil) di kampusnya yang bertujuan menyuplai amunisi riset dan penelitian sebagai konten advokasi.
Semua ini mengalir sampai tahun 2004 ketika ia bertemu Ecoton, lembaga kajian ekologi dan konservasi lahan basah, yang digawangi oleh Prigi Arisandi (pemenang Goldman Environmental Prize 2011). Di sinilah momen “Sumpah Palapa” Amir terukir untuk mendarmabaktikan hidupnya pada upaya konservasi air. Amir bergabung dengan Ecoton pada 2005 sampai sekarang sebagai manajer community development. Ia mengawali kiprahnya dengan penugasan di hulu, yaitu daerah Pujon, Malang sebelum ditransfer ke Wonosalam, Jombang. Di sinilah ia menemukan cinta keduanya dengan mendirikan Padepokan Wonosalam Lestari (PWL) pada 2009, yang lebih fokus pada edukasi dan ekowisata mata air di lereng Gunung Anjasmoro, Jombang.
Walaupun tertatih-tatih, PWL telah menginisiasi kegiatan usaha ekowisata Mata Air Brantas sejak 2011.
Bersenyawa
Dalam upaya konservasinya, Amir yang juga jebolan master Biologi dari Universitas Airlangga seolah bersenyawa dengan sifat air. Langkah pertamanya adalah mendekati masyarakat akar rumput dengan rangkaian sosialisasi ke desa-desa di hulu yang diikuti ajakan agar penduduk komit dan bergabung dalam Kelompok Pelestari Hutan dan Mata Air (disingkat Kepuh). Kepuh per desa memiliki program antara lain pemantauan masingmasing mata air, pembibitan pohon endemik, sampai penanaman lahan kritis sepanjang aliran sungai. Hal ini berkembang menjadi program Adopsi Pohon, yaitu perusahaan atau universitas menanggung biaya bibit, penanaman, dan pemeliharaan pohon oleh Kepuh.
Manfaat ekonomi mulai didapat dari
penjualan bibit dan biaya pemeliharaan pohon. Hebatnya pendapatan yang tidak besar itu masih diinvestasikan sebagian kecil untuk pembuatan papan larangan menebang dan menembak burung. Militansi mereka yang mulai terbangun dimanfaatkan untuk melakukan edukasi ke tetangganya untuk tidak lagi membuang limbah ke mata air dan menembak burung.
Bersama Ecoton, Amir pun keluar masuk sekolah-sekolah untuk mengajak pelajar terlibat menjaga air, mulai tingkat SD hingga SMA. Semua upaya pelibatan tadi bagaikan air yang selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, selalu bergerak ke bawah (baca: turun ke bawah) menghasilkan energi kinetik untuk pergerakan.
Sifat air yang kedua adalah mendesak ke segala arah. Upaya konservasi tentunya hanya akan berhasil ketika dapat diformalkan menjadi kebijakan. Inilah tantangan selanjutnya, advokasi kepada para pengambil kebijakan. PWL memulainya dari desa, dengan mendorong dan mendampingi kepala desa untuk mengeluarkan peraturan desa (perdes). Bersama Ecoton dan puluhan komunitas lainnya, PWL pun berhasil mengegolkan Peraturan Daerah Kabupaten Jombang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Perlindungan Mata Air. Desakan mereka pun sampai ke Perhutani, selaku penguasa hutan lindung. Dengan perjuangan berliku, dicapai kesepakatan bahwa semua mata air yang berada di wilayah Perhutani dengan radius 200 meter harus steril. Kesepakatan ini dituangkan sebagai program Permata, singkatan dari Perlindungan Mata Air. Permata ini juga disosialisasikan dengan mengangkat kearifan lokal yang turun-temurun seperti “hutan lindung yang di dalamnya terdapat mata air tidak boleh dimasuki (Hutan Sengkeran)”.
Gubernur pun tak luput dari sasaran mereka untuk pemulihan kawasan hilir. Wajar saja karena aliran Brantas ini melewati 15 kabupaten/kota di Jawa Timur. Gubernur telah mengeluarkan surat keputusan (SK) yang menetapkan wilayah 0 sampai dengan 10 kilometer Kali Surabaya sebagai kawasan suaka ikan. Konsekuensi SK ini adalah industri harus menggunakan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) terbaru dan larangan menyetrum ikan.
Terakhir, sudah menjadi sifat air untuk selalu mencari jalan dari rintangan yang ada di jalannya. Dalam perjuangan di atas, tak sedikit orang yang mencibir, apa manfaat ekonomi dari kegiatan konservasi. Amir tertantang membuktikan bahwa tidak hanya bencana yang berupaya dihindarkan dengan konservasi, tetapi juga mendatangkan pendapatan bagi yang terlibat. Walaupun tertatih-tatih, PWL telah menginisiasi kegiatan usaha ekowisata Mata Air Brantas sejak 2011. Ia membina tiga kelompok di Wonosalam, Pujon, dan Wringinanom, Gresik, dengan melakukan pelatihan, studi banding, dan pemasaran. Sejak akhir tahun lalu juga telah diresmikan pusat informasi wisata di masing-masing kawasan. Paket wisata yang ditawarkan, antara lain jelajah/susur sungai, wisata air terjun, outbond, melihat biogas, mikrohidro dan pemerahan susu, serta menginap di rumah penduduk. Semua sudah termasuk pemandu dari kelompok wisata setempat dan yang paling menarik adalah wisata candi di sepanjang hilir Brantas.
Di sinilah kita bisa melihat relief simbol perintah menjaga air di beberapa candi peninggalan Majapahit. Dengan ini, kita seolah menapaktilasi peradaban masa lalu untuk mengambil pelajaran bagi masa depan. Mata air bukanlah warisan, melainkan titipan untuk generasi masa depan. Pembaca Kompas KLASS yang ingin mencicipi Wisata Mata Air Brantas atau melakukan Adopsi Pohon bisa kontak alamat e-mail: pwl.wonosalam@gmail.com.
Goris Mustaqim
Pegiat pemberdayaan masyarakat
@GorisMustaqim
@kompasklass #budiluhur