Oleh: GORIS MUSTAQIM
Apa yang terlintas di benak ketika mendengar beberapa baris kata berikut sebagai sepenggal bagian dari kehidupan seseorang: alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, lulusan terbaik angkatan, mahasiswa berprestasi, dan berkarier di konsultan global bergengsi? Barangkali kita akan meramal orang itu suatu saat akan menjadi pejabat di sekitar Lapangan Banteng, berkantor di gedung megah di ujung Jalan Thamrin (Bank Indonesia), atau berkarier di perusahaan multinasional terkemuka.
[dropcap]L[/dropcap]eonardo Kamilius dan pilihan hidupnya mungkin salah satu antitesis kelaziman di atas. Ia memilih mengikuti kata hatinya, memberdayakan kaum miskin perkotaan di utara Jakarta. Sejak 2011, ia mendirikan lembaga keuangan mikro Koperasi Kasih Indonesia (KKI). Kritik lama tentang elite ekonom yang hanya berkutat di menara gading atau lebih sering membicarakan kemiskinan di hotel berbintang tak relevan sama sekali untuk seorang Leon. Ia memerangi kemiskinan langsung di jantungnya. Senjatanya adalah pemberdayaan dengan pelatihan motivasi dan pola pikir, pinjaman mikro, serta layanan menabung.
Sekilas, tidak ada yang berbeda dari Leon dibandingkan anak berprestasi lain. Ketika kuliah, tak hanya prestasi di atas rata-rata yang dicapainya. Berbagai tantangan kompetisi si- mulasi bisnis dilahapnya dengan predikat juara nasional sampai mewakili Indonesia di tingkat internasional. Cita-citanya menjadi seorang CEO pun tampak tak sulit diraih. Jalan itu misalnya terbuka dengan diterimanya ia di McKinsey setelah lulus.
Namun, ketika SMA, Leon sempat hampir tidak naik kelas 2 kali. Ia kemudian mendapatkan pukulan dalam hidup yang membuatnya kembali kepada Tuhan. Pengalaman dikasihi Tuhan mengubahnya, dari malas dan nakal menjadi bersemangat. Tuhan menjadi pegangannya sejak saat itu. Pada saat kuliah tahun pertama, ia menemukan visi hidupnya, yaitu ingin membantu sebanyak mungkin sesama yang membutuhkan.
Lalu, apa yang menjadi titik baliknya memulai karya bagi sesama? Mari sejenak mundurkan waktu ke 2009, saat gempa meluluhlantakkan Padang. Karena merasa terpanggil, Leon bergabung sebagai relawan. Meski tidak digaji dan hidup sederhana, Leon merasa penuh hatinya karena bisa bermanfaat. Niat membaktikan diri untuk sesama pun semakin tebal. Namun, di sisi lain, hal ini lantas berpengaruh pada performanya yang menurun di kantor. Leon kehilangan motivasi penuh karena menemukan hatinya ada di tempat lain. Namun di sisi lain, ia tidak berani keluar karena beberapa alasan.
Tuhan lalu menunjukkan rencana-Nya. Pada penghujung 2010, ketika evaluasi tahunan dilakukan, Leon diminta untuk keluar dari perusahaannya. Hal ini menjadi pukulan besar baginya. Ia merasa sangat kecewa dan malu. Namun, ini rupanya merupakan cara Tuhan memanggil. Dalam perenungannya, Leon menyadari bahwa ia harus dikeluarkan agar berani memulai karya bagi sesama. Di sinilah Leon melakukan transformasi dan memulai karyanya.
Leon menabuh genderangnya. Ia mengasah senjata dari ilmu ekonominya dan menyiapkan amunisi dari pengalamannya sebagai konsultan. Ia akan menjamah dunia keuangan mikro. Buku Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank, turut memengaruhinya. Ia juga menyediakan dana yang relatif tak banyak sebagai modal awal, Rp 50 juta.
Lalu, di mana medan perangnya? Dipilihlah Cilincing karena banyak alasan. Pertama, Leon pernah dua kali datang ke sana dalam rangka kegiatan kampus sehingga bisa disebut ia lumayan mengenali medan. Kedua, ternyata Cilincing adalah salah satu kawasan padat termiskin di Jakarta sehingga cocok untuk medan perjuangan mengubah status sosial ekonomi masyarakatnya. Ketiga, di Cilincing, ia mengenal Bruder Petrus, pemberdaya masyarakat yang kemudian menjadi rekannya selama 5 bulan. Terakhir, alasan yang paling realistis adalah dengan di Jakarta ia juga bisa mendapatkan “subsidi” dengan tinggal menumpang ibunya selama belum mendapat gaji.
Leon dikirimkan rekan seperjuangan yang bertahan hingga saat ini, yaitu Lucyana Siregar, yang bervisi sama. Dibantu oleh Bruder Petrus, mereka lantas mengumpulkan 30 orang ibu-ibu prasejahtera. Digelarlah focus group discussion kecil-kecilan. Di sana, mereka menggali berbagai masalah dan kebutuhan ibu-ibu, perilaku konsumsi, juga pengetahuan mereka tentang menabung.
Berdasarkan data tersebut, dirancanglah rencana pemberdayaan, rencana bisnis, dan produk KKI. Ya, Leon menegaskan, tujuan KKI sejak awal bukan “menyediakan akses pinjaman”, melainkan “memberdayakan masyarakat agar bisa sejahtera”.
Di KKI, para anggota tidak hanya meminjam uang, tetapi juga diwajibkan menabung minimum Rp 6 ribu–Rp 15 ribu per minggu. KKI juga mengadakan pelatihan untuk mengingatkan anggota pada mimpi dan rencana keuangan yang telah mereka susun.
Leon dan tim memberanikan diri membentuk dan mengumumkan keberadaan KKI. Pintu demi pintu ia ketuk, gang-gang sempit ia telusuri untuk mengenalkan dan mengajak ibu-ibu bergabung. Beragam penolakan, kecurigaan, dan masalah dihadapi setiap hari. Dengan susah payah, 286 orang nasabah digaet pada tahun pertama.
Dengan hitungan bisnis sederhana, tentulah kita bertanya-tanya mana mungkin modal Rp 50 juta cukup menalangi pinjaman yang berkisar antara Rp 500 ribu sampai Rp 1,5 juta yang diberikan pada kelompok dengan sistem tanggung renteng tersebut. Di sini, pertolongan Tuhan datang. Ternyata, banyak kawan dan jejaring yang merasa simpati dengan perjuangan KKI dan ramai-ramai berdonasi. Pada tahun kedua, anggota KKI mencapai 682 dan pada titik ini, KKI hampir bangkrut.
Setelah melalui masa-masa sulit, performa KKI mulai melejit pada 2013. Anggota bertambah menjadi 3.065 orang, hampir semuanya ibu-ibu. Leon dan kawan-kawan mulai bisa mendapatkan gaji yang lebih layak. Namun, sumber kebahagiaan mereka adalah mulai berdampaknya bisnis sosial mereka terhadap kehidupan anggota.
Prestasi tersebut konsisten bergerak ke atas sampai pada Juli 2015 anggota aktif KKI mencapai 7.400 orang. Mereka tersebar di 3 kecamatan di Jakarta Utara, yaitu Cilincing, Koja, dan Tanjung Priok. Hebatnya, itu semua dicapai dengan 0 persen non performing loan alias tidak ada kredit macet satu pun.
Semua itu tidak membuat KKI berpuas diri. Mereka mengejar target 20.000 anggota pada 2017 dan 1 juta anggota pada 2030. Rencana strategis telah disusun. Ke depan, Leon ingin agar KKI tumbuh menjadi konglomerasi bisnis sosial yang juga menyentuh layanan pendidikan dan kesehatan. Dampak serta visi KKI juga membuatnya diganjar penghargaan Ernst & Young Social Entrepreneur of The Year pada 2014 serta penghargaan dari Ikatan Alumni FE UI untuk alumnus yang berkontribusi di bidang sosial pada 2012.
Seiring tumbuh berkembangnya, KKI menitipkan pesan untuk Anda semua, anak muda yang ingin ikut berjuang bagi sesama, untuk bergabung di KKI. Ada enam posisi yang dibutuhkan, yaitu Training Manager, HR Manager, Internal Audit Manager, Wakil Manajer Operasional, Finance Supervisor, dan MIS Programmer. Jika tertarik mengetahui lebih lanjut, Anda dapat menghubungi alamat e-mail leonardo.kamilius@gmail.com
Keluar dari Kemiskinan, Kesempatan Bertemu Kesiapan
Ada yang cukup mengharukan di rumah sejumlah warga di Cilincing. Di dalamnya, kita dapat menemukan pigura berisi foto yang menggambarkan impian ibu-ibu. Anak menjadi sarjana, rumah yang lebih baik, atau gambar Kabah yang menyiratkan keinginan untuk naik haji. Di dalam pigura, tersemat pula kata-kata “Jujur + Disiplin + Usaha Keras + Doa = PASTI BISA!”
Pigura impian semacam itu dibuat dan diceritakan pada saat pelatihan di awal seorang anggota akan bergabung dengan KKI. Anggota menceritakan mimpinya di depan anggota kelompoknya sebelum memajang dan melihatnya secara rutin di rumah.
Leon selalu mengingat momen pigura impian ini sebagai momen yang menyentuh, moment of truth. Banyak ibu yang menangis saat menceritakannya. Karena tujuannya adalah membuat keluarga menjadi berdaya, lalu sejahtera, KKI mewajibkan setiap anggotanya
Karena tujuannya adalah membuat keluarga menjadi berdaya, lalu sejahtera, KKI mewajibkan setiap anggotanya untuk berani bermimpi. untuk berani bermimpi. Dari sana, tim KKI akan membantu mereka mewujudkan mimpi tersebut dengan mengajari cara mengatur uang dan membangun kebiasaan menabung anggotanya.
Boleh dikatakan KKI berkembang secara organik. Idealisme Leon tentang kemiskinan sedikit banyak mirip dengan penelitian yang mendasari buku Poor Economics, yang juga menjadi jawaban dari pencariannya tentang cara keluar dari perangkap kemiskinan. Leon menyayangkan buku-buku teori dan program pemerintah yang kerap hanya berfokus pada penyediaan akses dan hampir tidak pernah berusaha membangun kesiapan si miskin.
Seolah ketika seseorang diberikan pancingan, sudah pasti ia bisa menggunakan pancingan tersebut tanpa diajari lebih dulu. Merasa ada yang kurang dengan apa yang diajarkan di buku-buku ekonomi kemiskinan, Leon dan tim merumuskan sendiri proses rekayasa sosial dan pendekatannya berdasar pengalaman interaksi langsung di lapangan.
Contoh nyatanya, banyak anggota KKI yang bekerja keras setiap hari, tetapi tidak pernah menabung rutin. Menabung belum jadi kebiasaan. Bahkan, pada banyak kasus, pendapatan yang relatif besar pada satu waktu tertentu habis untuk kebutuhan konsumtif jangka pendek, meski yang dibeli tidak terlalu diperlukan. Layanan bank untuk menabung pun belum dimanfaatkan, padahal bank terdekat hanya berjarak beberapa ratus meter dari tempat mereka tinggal.
Di sinilah mantra “sukses adalah kesempatan bertemu kesiapan” relevan. Leon dan KKI tidak hanya menyediakan akses (kesempatan), tetapi juga membangun kemauan dan kemampuan (kesiapan). Dalam pelatihan 6 bulan sekali untuk merencanakan ulang dan memonitor pencapaian tujuan keuangan anggota, banyak ibu-ibu yang terkaget-kaget. Jumlah pengeluarannya selama ini ternyata cukup untuk menguliahkan anaknya atau membuat rumah sederhana jika selama ini mereka rajin menabung.
Krusialnya pendidikan tentang menabung di kalangan ibu-ibu ini membuat KKI mesti melakukan pendekatan yang tepat untuk mengajak para anggotanya menabung. Ada yang langsung sadar sehingga rajin menabung secara sukarela, tetapi banyak juga yang harus “dibuat terbiasa menabung ” agar mereka menyadari manfaat menabung.
Seiring perkembangan, upaya keras mem- buat anggota menabung mulai menunjukkan hasil. Rata-rata tabungan anggota meningkat 250 persen pada 2011–2014. Mereka yang bergabung lebih lama di KKI juga cenderung memiliki tabungan lebih besar.
Di antara keringat dan air mata kerja keras KKI, muncul kisah-kisah yang menguatkan perjuangan mereka. Seperti kesabaran Tuti yang sempat terlilit utang dan digusur lapaknya. Ia lalu bangkit dan membuka warung nasi yang dijadikan tulang punggung keluarga pada saat sang suami terbaring sakit. Ada kisah Een yang telah memperbaiki rumahnya dari lantai tanah dan dinding tripleks menjadi permanen. Ada ketabahan Itayanti yang ditinggal suami pergi dan membesarkan tiga orang anaknya dengan menjahit dan berjualan pakaian tanpa kenal lelah. Dari usahanya itu, ia bisa memiliki simpanan emas dan menabung untuk anak- anaknya.
Lihat pula Mayleni yang menjadi tulang punggung keluarga ketika usaha suaminya jatuh dan belajar menabung sehingga akhirnya bisa membangun rumah impiannya. Ekawati yang mewujudkan mimpi membeli rumah yang lebih layak dan kemudian berhasil membeli 2 mobil kredit untuk disewakan. Salam berdaya di akhir dari Ita Rosita, yang 19 tahun mengontrak dan kemudian berhasil memiliki rumah sesudah 1,5 tahun bersama KKI dan menginspirasi Pigura Mimpi yang sekarang dimiliki banyak anggota KKI. Ternyata, mereka semua bisa mengusahakan kemandirian dan meraih mimpi- mimpinya jika diberi kesempatan dan diajak bersiap menjemput kesuksesan.
Goris Mustaqim
Social Entrepreneur dan Konsultan Pengembangan Masyarakat
@GorisMustaqim
@kompasklass #budiluhur