Sebuah Ikhtiar Memuliakan Petani

Oleh : Goris Mustaqim

Predikat negara agraris yang dengan gagah disandang Indonesia telah lama menunjukkan ironi. Nasib baik belum banyak berpihak kepada petani, kelompok yang paling dekat dengan urusan bercocok tanam.

Sementara itu, warga kota yang notabene merupakan konsumen setia pangan, tak ambil pusing soal dari mana asal makanan dan bagaimana kondisi petani, tangan pertama dalam rantai distribusi pangan. Yang penting, bisa membeli bahan makanan dan harga stabil. Segelintir yang mau peduli. Di antara yang sedikit itu, sosok Helianti Hilman cukup menonjol. Upayanya memuliakan petani telah diakui luas dengan diperolehnya sederet penghargaan, antara lain Ernst & Young Social Entrepreneur Award 2013, Schwab 2015 Social Entrepreneur yang tera liasi dengan World Economic Forum, dan Inspiring Women Honor Roll oleh Majalah Forbes Indonesia.

Mari sejenak mundurkan waktu. Kita berada di Banyuwangi, periode akhir 1970-an. Seorang anak perempuan kecil, Etik namanya, tinggal berpindah-pindah dari satu kebun kopi ke kebun kopi lainnya, mengikuti orangtuanya. Terakhir di Kalisat Jampit, dekat Pegunungan Ijen yang masyhur itu.

Hidup dikelilingi perkebunan, beragam sayuran, dan bahan makanan lain, keluarga Etik terbiasa memenuhi kebutuhan pangannya dengan mengambil dari apa ada di sekitarnya. Sayuran dan buah dipetik dari halaman yang luas, hewan untuk lauk ditangkap tanpa sertaan transaksi. Sampai usia 6 tahun, Etik bahkan mengira semua makanan bisa didapatkan dengan gratis. Ketika pindah ke kota pada umurnya yang ke-7, barulah Etik terkejut. Ia menyaksikan setiap rumah tangga harus belanja membeli kebutuhan makanan di pasar.

Etik tumbuh di lingkungan akademis. Lulus sekolah menengah atas, ia kuliah di jurusan Hukum Internasional Universitas Padjadjaran. Ia lantas meneruskan studi S-2 di Kings College London, lalu menapaki kariernya sebagai pengacara dan konsultan di berbagai agensi pembangunan internasional. Siapa sangka, di sinilah Etik dewasa, Helianti Hilman, menemukan jalan kembali ke masa lalu.

Saat itu, ia sering bersentuhan dengan isu sustainability consumption, food justice, fair trade, dan isu ketidakadilan global lainnya. Pada suatu ketika, melalui teman yang pernah bekerja di proyek FAO di Indonesia, ia diperkenalkan dengan jaringan petani organik Indonesia yang beranggotakan lebih dari 1 juta petani organik. Dari sanalah ia sering berinteraksi dengan petani dan kerap dimintai bantuan untuk membantu menjualkan produk mereka.

Nasihat ibu

Berbekal niat baik, mulailah Helianti memasarkan produk- produk tersebut ke kenalan terdekatnya. Aksi kecil yang lama-lama makin ramai peminat itu lantas memiliki dampak samping. Sang ibu mengeluh, garasi rumahnya di Yogyakarta sesak dengan aneka ragam komoditas petani yang menitipkan hasil buminya. Sang ibu lalu berpesan dengan bijak, “Kalau ingin menolong petani, ya jangan setengah-setengah. Kasihan kalau suatu saat harapan mereka tinggi dan kita tidak bisa memenuhinya.”

Nasihat ibunda rupanya berbekas di hati Helianti. Mengajak ia kembali berpikir merumuskan ulang makna hidupnya. Mulailah dia “terjerumus” lebih dalam ke dunia lamanya dengan lebih giat memasarkan produk tani. Namun, saat pasaran mulai naik, kerap terjadi petani tak bisa menyediakan barang yang dijanjikannya.

Mafhumlah Helianti, masalah di sektor pertanian bukanlah sekadar mencarikan pasar di hilir, tetapi bermula jauh di hulu. Mulai penanaman, pascapanen, sampai pengolahan hasil pertanian. Dari situlah Helianti banting setir ke dunianya sekarang, dunia hasil lahan Indonesia yang sebenarnya begitu dekat dengannya ketika ia masih kanak-kanak. Helianti bergerak dengan model NGO pada 2006–2008, yang lalu bertransformasi menjadi PT Kampung Kearifan Indonesia. Produk dari perusahaan ini lebih dikenal dengan merek Javara.

Meskipun berbentuk perusahaan, cara kerja PT Kampung Kearifan Indonesia jauh dari gambaran tentang kerja formal atau pertemuan direksi di ruang rapat. Ini bukan cuma soal membubuhkan komitmen di atas kertas kontrak. Kunci sukses pendekatan sosial Javara adalah kolaborasi bersama local champion, yang digandeng menjadi entrepreneur. “Entrepreneurship sangat penting untuk dimiliki semua orang,” tutur Helianti. Ia melanjutkan, “Entrepreneurship adalah kreativitas untuk menemukan solusi.”

Tokoh petani yang berpikiran maju atau yang punya semangat untuk maju, kelompok koperasi petani, atau anak petani yang menempuh pendidikan formal menjadi local champion yang bekerja sama dengan Javara. Merekalah pahlawan dari berbagai daerah pelosok, dari Aceh, Banyumas, Bali, Flores, sampai Halmahera. Mereka mengorganisasi petani di daerahnya, berkomunikasi dengan bahasa lokal, dan memahami kebiasaan para petani. Yang utama, memiliki mimpi sama dengan Javara, membangkitkan kembali kejayaan petani Indonesia, dan menghadirkan kekayaan alam asli Indonesia di panggung dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *