Oleh: GORIS MUSTAQIM
Bung Hatta pernah menyentil, “Zaman besar hanya melahirkan generasi kerdil.” Tentu itu bukanlah harapannya, melainkan lebih kepada ajakan pada generasi jauh sesudahnya untuk mawas diri. Bahwa kemerdekaan bukanlah warisan nikmat, melainkan medium untuk dibangun dan diperjuangkan. Dengan segala kemudahan pada zaman sekarang, ujaran Bung Hatta tadi layak selalu kita jadikan cermin. Ketiadaan teknologi informasi dan komunikasi canggih saat itu tidak menghalangi para pahlawan membuat perubahan besar bernama kemerdekaan.
Tiap zaman memang bukan untuk dibanding-bandingkan, masing- masing memiliki tantangan serta konteksnya masing-masing. Perubahan besar sejatinya personal dan relatif, yaitu ketika seseorang atau suatu kaum mampu melawan batasan sendiri untuk mencapai derajat kehidupan yang lebih baik yang dinikmati banyak orang. Lihatlah lima sosok inspiratif yang kesemuanya pernah dimuat dalam rubrik Sosok harian Kompas. Mereka mampu keluar dari stigma keterbatasan, mengubah aturan permainan selama ini yang eksklusif. Mereka tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga memanfaatkan teknologi serta kecanggihan zaman untuk berkarya membuat perubahan.
Inspirasi yang “menampar”
Tesis tersebut tervalidasi oleh para sosok penerima Anugerah Telkomsel 2016 yang merupakan kolaborasi Telkomsel dan harian Kompas. Sebut saja Ariny Nurul Haq dari Martapura Kalimantan Selatan. Ia menolak pasrah pada stigma penyandang tunadaksa tak bisa berbuat apa-apa karena putus sekolah di bangku SMP. Ia memanfaatkan jejaring sosial Facebook untuk menulis, meminta umpan balik, berguru pada ahli, dan berkolaborasi dengan penulis lain menghasilkan sampai lima novel. Tekadnya untuk produktif telah melampaui keterbatasan dirinya yang menghabiskan keseharian di rumah. Kekalahan demi kekalahan melalui penolakan penerbit mayor untuk menerbitkan novelnya tak membuatnya
Karakter dan determinasi para sosok seperti Ariny Nur Haq, Ainun Chomsun, Hadi Puspita, Muhammad Abdul Bar, dan Samuel Franlyn telah menginspirasi kita semua, bangsa yang besar ini. Ketika berbagi, kita akan menjadi manusia yang lebih besar dari diri sendiri, generasi besar pada zaman besar.
larut dalam kekecewaan. Ia bergerilya dengan penerbit indie menerbitkan sendiri novelnya.
Sampai suatu ketika karyanya mulai dikenal dan muncullah “kemenangan” dengan dua novelnya yang diterbitkan oleh penerbit mayor. Ingatlah juga kisah Samuel Franklyn yang menolak terpuruk berkepanjangan setelah sejak 4 tahun lalu lebih dari separuh bagian tubuhnya tiba-tiba lumpuh. Ia tetap bekerja freelance membuat program-program komputer untuk berbagai perusahaan. Yang lebih menampar kita, Samuel dengan kondisi berbaring menggunakan alat bantu yang dirancang khusus, bahkan mampu mengembangkan perangkat lunak untuk membuat materi belajar daring yang dapat diakses secara gratis oleh para pengguna. Perangkat lunak atau software ini merupakan hasil penggabungan perangkat lunak Java yang diproduksi oleh Sun Microsystem Amerika dan AS/400 yang diproduksi oleh IBM. Ia pun terus membagi ilmu pemrograman yang dikuasai secara gratis kepada siapa saja yang semangat untuk belajar.
Mereka yang mencipta perubahan juga digerakkan oleh tujuan besar, melebihi tujuan dirinya. Cerita tentang Dr Hadi Puspita, inisiator Contra War dan Sutera Mas, dari Malang, menginspirasi kita. Alih-alih hidup nyaman menjalani karier sebagai kepala puskesmas secara datar sampai menduduki jabatan Staf Ahli Bupati dan Kepala BKKBN Malang, Dr Hadi memilih menggunakan sepeda motor ke pelosok yang sulit dijangkau. Inovasi tersebut tentunya tidak akan muncul jika ia lebih senang berdamai dengan pola kerja PNS kebanyakan.
Perubahan dari diri
Revolusi mental adalah jargon dari perubahan, tetapi tentu semua diawali perubahan diri sendiri. Untuk mengubah diri, kita harus senantiasa semangat belajar, bahkan hal-hal yang sering kali tidak mungkin. Buka kembali kisah seorang Muhammad Abdul Bar, sopir bus AKAP yang berbulan-bulan belajar desain gra s dari nol berbekal komputer tetangga pada malam hari untuk mengubah nasib dirinya. Ia tidak patah arang dengan berbagai provokasi “penjajah” yang meyakini teori desain adalah milik orang yang diberkati dengan bakat.
Kemenangan dalam lomba desain yang berbuah hadiah lumayan tidak hanya memerdekakan hidupnya, tetapi juga menyelamatkan puluhan hingga ratusan tetangga di kampungnya yang secara “berjamaah” insyaf dari profesi preman menjadi desainer. Tentu kita tidak berani menyebut transformasi ini sebagai perubahan kecil. Bukan karena kita takut mantan preman.
di Komunitas Rewo-Rewo yang didirikan Abdul, melainkan perubahan ini sulit kita bayangkan, serasa mimpi.
Benang merah dari Ariny, Samuel, Dr Hadi, dan Abdul adalah perubahan sangat mungkin terjadi dengan semangat berbagi terhadap sesama. Hal ini sangat dimungkinkan pada “zaman besar” sekarang. Kolaborasi mungkin dulu hanya manis diucapkan, tetapi generasi sekarang sudah sangat fasih melakukannya sebagai bagian keseharian. Ainun Chomsun mendirikan Akademi Berbagi dengan keyakinan pengetahuan bisa mudah diakses semua warga semudah memainkan jari jemari di atas gawai mengetik ajakan menjadi relawan yang mengatur kelas, mencari tempat, sampai menjadi narasumber. Zaman memang seakan mudah, tetapi tetap saja kalau tidak ada karakter changemaker dalam diri seseorang seperti kisah- kisah di atas tidak akan ada perubahan besar.
Karakter dan determinasi para sosok seperti Ariny Nurul Haq, Ainun Chomsun, Hadi Puspita, Muhammad Abdul Bar, dan Samuel Franlyn telah menginspirasi kita semua, bangsa yang besar ini. Ketika berbagi, kita akan menjadi manusia yang lebih besar dari diri sendiri, generasi besar pada zaman besar.
Goris Mustaqim
Social Entrepreneur dan Konsultan Pengembangan Masyarakat
@GorisMustaqim
@kompasklass #budiluhur